Alex Sobur Jacques Derrida adalah filsuf postmodern yang paling akurat. Derrida bisa dimasukkan ke dalam kelompok penulis hermeneutik sejauh ia berhubungan dengan bahasa dan makna. Gagasan-gagasannya tentang kritik sastra mengklasifikasikan dia di antara kritikus sastra, meskipun dia sendiri mengingkari anggapan orang tentang posisinya sebagai filsuf atau sastrawan. Derrida sering mendapat hambatan dari masyarakat akademik Inggris. Bahkan, pada 1992, saat ia menjadi filsuf yang barangkali paling terkenal di dunia, ada yang melakukan kampanye menolak penghargaan akademik yang hendak diberikan kepadanya di Cambridge. Derrida memutuskan tidak menulis tesis untuk mencapai gelar doktor. Ia menyadari permasalahan yang ada dalam ilmu filsafat, khususnya dalam hubungannya dengan literatur. Ia kian yakin pada kesimpulannya bahwa filsafat adalah semacam bentuk sastra literatur (Grenz, 2001). Derrida banyak disebut-sebut sebagai lelaki yang sangat cerdas. Tetapi karya-karyanya sulit dimengerti. Ia mengandaikan para pembaca tulisannya adalah orang-orang yang termasuk pakar di bidang seni dan sastra. Ia banyak mengutip teks-teks Yunani dan Jerman asli dan sangat sering mengupas kembali naskah-naskah berbahasa Prancis. Memulai kariernya sebagai filsuf akademis tahun 1955. Ia mulai memperoleh perhatian publik pada tahun 1965 sewaktu ia menerbitkan dua artikel panjang yang mengaulas buku- buku tentang sejarah dan bentuk penulisan pada sebuah jurnal yang terbit di Paris, Critique. Tulisan-tulisan Derrida sangat sulit ditafsirkan. Ia mengatakan bahwa selama ini ilmu filsafat hanya berani menilai dan menghakimi jenis sastra literatur lainnya, tetapi menolak digolongkan sebagai salah satu jenis sastra. Ia sangat keberatan terhadap para filsuf yang menganggap diri mereka sebagai pengamat yang objektif. Mereka merasa disiplin ilmu mereka mempunyai hak melemparkan pertanyaan mendasar terhadap ilmu-ilmu lainnya, misalnya: “Apa itu literatur?” atau “apa itu puisi?” Derrida keberatan dengan konsep demikian (Grenz, 2001). Guna melawan kecenderungan ini, ia menghantam posisi filsafat. Ia tidak menganggap dirinya mampu memandang dari sebuah titik puncak terhadap aktivitas sastra literatur lainnya. Sebaliknya, Derrida memasukkan bentuk sastra literatur lain ke dalam area filsuf (misalnya, puisi). Dengan demikian, secara tidak langsung ia mewaspadai usaha filsafat untuk membagi tulisan menjadi beberapa bentuk. Strategi ini membuat tulisan Derrida melawan struktur yang ada, Tulisan-tulisannya bergerak antara sifat bermain-main dan sifat sengaja mempermainkan aturan- aturan literatur yang selama ini ada. Ia, seperti diceritakan Grenz, menggunakan beberapa teknik untuk menghasilkan sifat tersebut. Banyak tulisannya bersifat percakapan dengan tulisan-tulisan filsuf besar dan penulis terkenal lainnya. Terkadang ia mencampurkan dua teks dengan meletakkannya secara berdampingan sebanyak beberapa halaman yang terpisah secara vertikal atau horisontal. Terkadang pula ia menyajikan percakapan yang mencakup beberapa suara atau satu suara utama yang diinterupsi oleh seorang juru bicara. Melalui semua ini, Derrida tampil sebagai seorang ahli membuat makna ganda dan makna tersembunyi. Ia mengajak kita menuju cara baru dalam membaca dan menulis. Melihat karya-karya Derrida secara sepintas lalu kiranya cukup untuk menyimpulkan bahwa hampir semua karangan yang ditulisnya hingga sekarang merupakan komentar atas pengarang- pengarang lain: filsuf-filsuf, para ilmuwan (misalnya Freud, Saussure, dan LeviStrauss), dan para sastrawan. Namun, komentar dalam bentuk yang khusus, sebab dengan cara itu pemikirannya sendiri berkembang selangkah demi selangkah. Ia tidak memberi penafsiran begitu saja. Ia juga tidak membatasi diri pada suatu penelitian mengenai praandaian-praandaian dan implikasi-implikasi dalam teks-teks yang dibicarakan. Dengan mengomentari teks-teks tersebut ia menyajikan suatu teks baru. Ia menyusun teksnya sendiri dengan “membongkar” teks-teks lain dan dengan demikian ia berusaha melebihi teks-teks itu dengan mengatakan sesuatu yang tidak dikatakan dalam teks-teks itu sendiri. Prosedur atau langkah-langkah ini oleh Derrida disebut dekonstruction “pembongkaran” (Bertens, 2001). Agak berbeda dengan pendahulunya, Derrida bukan seorang pembuat mitos baru. Ia tidak. Ia tidak berusaha menyusun sesuatu yang baru berdasarkan yang lama. Tujuannya bersifat destruktif (menghancurkan), menghancurkan tradisi logosentrisme Barat. Derrida hendak melucuti cita-cita modern yang memandang filsafat sebagai ilmu murni, sebagai suatu penelitian objektif. Ia juga menolak konsep adanya hubungan langsung antara bahasa kita dan realitas di luar kita. Senjata yang Derrida gunakan adalah dekonstruksi. Dekonstruksionisme menjadi paham yang amat penting dan berpengaruh besar terutama sekali karena ia menghadapkan dirinya dengan satu paham yang amat berakar dalam dan lama tradisi filsafat dan pemikiran pada umumnya, tradisi yang hidup berabad-abad dan tetap hidup sampai sekarang. Paham itu adalah apa yang oleh Derrida disebut sebagai logosentrisme tadi atau fonosentrisme. Selain itu, secara lebih khusus, dekonstruksionisme juga berhadapan dengan paham yang sebelumnya juga amat berpengaruh, yaitu strukturalisme. Dekonstruksi bukan sebuah metode atau sebuah teknik, atau sebuah gaya kritik sastra literatur atau sebuah prosedur untuk menafsirkan teks. Ia memperingatkan kita agar tidak menggantikan pembacaan dekonstruktif dengan pemahaman konseptual tentang pembacaan tersebut. Meski sulit didefinisikan, ada sesuatu yang dapat dikatakan tentang dekonstruksi. Intinya, dekonstruksi berhubungan dengan bahasa. Dekonstruksi menggunakan asumsi filsafat atau filologi tertentu untuk menghancurkan logosentrisme. Logosentrisme adalah anggapan adanya sesuatu di luar sistem bahasa kita yang dapat dijadikan acuan untuk sebuah karya tulis agar kalimat-kalimatnya dapat dikatakan: “benar” (Grenz, 2001). Derrida menegaskan bahwa tradisi filsafat Barat terlalu logosentris atau objektivistik. Filsafat terlalu ditekan untuk selalu mencari dasar transenden bagi bahasa kita. Bagi Derrida, tidak ada tulisan yang dapat dibatasi oleh dasar transenden. Tulisan tidak mempunyai acuan lain di luar dirinya. Tak ada kerangka acuan yang dapat menghasilkan sesuatu selain dongeng yang diciptakan dari kata-kata. Menurutnya, “prinsip utama” filsafat tidak boleh berupa dasar transenden yang menyatukan segala bahasa. “Prinsip ulama” filsafat harus berupa sistem simbol-simbol yang tidak berdasarkan sesuatu apa pun selain bahasa. Tambahnya pula tujuan filsafat bukan mempertahankan atau menjelaskan sistem-sistem ini, tetapi merobohkannya (dekonstruksi). Lewat suatu pendekatan yang disebut sebagai “pembongkaran” atau “dekonstruksi”, Derrida memulai penelitian mendasar pada bentuk tradisi metafisis Barat dan dasar-dasarnya dalam hukum identitas. Secara kasar bisa dikatakan bahwa hasil dari penelitian, ini tampaknya menyingkap sebuah tradisi yang dipenuhi dengan paradoks dan aporia logis. Dekonstruksi pertama kali dibakukan Derrida dalam bukunya De La Grammatologie (Of Grammatology) tahun 1967. Derrida menandaskan Tak ada makna dalam tindakan tanpa konsep-konsep metafisika dalam rangka melawan metafisika. Kita tidak mempunyai bahasa, tidak sintaksis dan tidak juga leksikon yang asing bagi sejarah ini; kita tidak dapat mengeluarkan sebuah dalil destruktif tunggal yang belum termasuk ke dalam bentuk, logika dan postulat-postulat implisit dari apa yang tepatnya dicari untuk dipertentangkan. Ia kemudian mengambil contoh: metafisika kehadiran diserang dengan bantuan dari konsep tanda. Namun sejak setiap orang mengharapkannya untuk memperlihatkan bahwa tak ada petanda transendental atau khusus, dan bahwa bidang atau pengertian yang saling mempengaruhi, mulai sekarang, menurutnya, tidak mempunyai batas. Ia, kata Derrida, seharusnya memperluas penolakannya terhadap konsep dan kata tanda itu sendiri yang tepatnya sesuatu yang tidak bisa dilakukan. Karena pengertian tanda selalu dipahami dan ditegaskan, dalam maknanya, sebagai tanda diri, penanda mengacu pada suatu petanda, penanda berbeda dari petandanya sendiri. Menurut Derrida, jika seseorang menghapus perbedaan radikal antara penanda dan petanda, maka kata penanda sendiri yang seharusnya ditinggalkan sebagai konsep metafisika.
Derrida memahami makna teks yang tidak boleh terus mempertahankan makna yang lama dan menentukan makna yang kemudian mengagungkannya. Tetapi harus diperoleh suatu kebenaran yang sungguh-sungguh baru dan menggambarkannya. Kebenaran ini diperoleh tanpa menyingkirkan kebenaran-kebenaran atau makna-makna yang lalu. Setelah kebenaran ini ditemukan, kita tidak boleh secara legitimasi menyatakan bahwa itulah kebenarannya yang sesugguhnya atau absolut. Bagi Derrida kebenaran tidak harus tunggal, absolut dan universal. Makna yang diperoleh bukan tiruan atau dari pemikiran penulis sendiri atau pembacanya, tetapi sungguh baru. Makna diperoleh dari teks itu sesuatu yang tidak terpikirkan bahkan oleh penulisnya. Kebenaran atau makna yang diperoleh bukanlah satu-satunya kebenaran, tetapi ada kesempatan untuk ditemukan kebenaran baru, sampai seterusnya. |